Part 1
Dengan semangat aku membonceng Sita berangkat ke Sekolah. Siang ini akan ada pengambilan hasil kelulusan SMP N 2 Lubuk Pinang. Saya pun cemas menanti amplop itu dan berharap tulisan tidak lulus yang akan tercoret. Kami sengaja datang awal, karena biar tidak ketinggalan informasi, dan juga akan ada acara corat-coret baju atas kemenangan dalam Ujian Nasional ini. Sita dan saya akan diwakili oleh Ayahku. Karena Ayah Sita baru saja meninggal tak lama sebelum kami ujian. Makanya ibu Sita menyuruh Ayah sekalian untuk mengambilkan amplop kelulusan untuknya.
Dengan semangat aku membonceng Sita berangkat ke Sekolah. Siang ini akan ada pengambilan hasil kelulusan SMP N 2 Lubuk Pinang. Saya pun cemas menanti amplop itu dan berharap tulisan tidak lulus yang akan tercoret. Kami sengaja datang awal, karena biar tidak ketinggalan informasi, dan juga akan ada acara corat-coret baju atas kemenangan dalam Ujian Nasional ini. Sita dan saya akan diwakili oleh Ayahku. Karena Ayah Sita baru saja meninggal tak lama sebelum kami ujian. Makanya ibu Sita menyuruh Ayah sekalian untuk mengambilkan amplop kelulusan untuknya.
Setiba di sekolah, kami
pun berkumpul dengan teman-teman yang tampak sudah pucat duluan. Desas desus
informasi siswa yang tidak lulus ternyata telah menyerbak. Oh, Tuhan. Ternyata,
tahun ini masih banyak yang tidak lulus UN. Informasi ini sangat mengerikan
bagi kami. Karena kami tidak tahu, apakah nama kami termasuk di deretan
nama-nama yang lulus atau bahkan yang tidak lulus. Kami pun harus bungkam
menunggu misteri itu terungkap.
Siang menjelang. Semua
wali murid sudah berkumpul di ruangan pertemuan, tapi tidak terlihat sosok yang
kami tunggu. Ayah belum jua kunjung datang. Aku pun mulai cemas. Siapa yang
akan mengambil hasil ujian Sita dan aku? Aku menggeleng-gelengkan kepala mencari
orangtua sahabatku, Ica.
‘Dimana Mama Ica? Kok
tidak terlihat. Apa yang harus aku lakukan’, pikirku. Aku mengirim pesan kepada
ayah. Ternyata ayah ada rapat di kabupaten dan sebentar lagi akan ke SMP kami.
Mau tidak mau, kamipun menunggu di samping aula dengan penuh kesabaran.
Di aula, sudah terdengar
pemanggilan nama. Dan satu persatu wali murid keluar ruangan dengan wajah
cemas. Orangtua pun ikut khawatir dengan hasil yang akan menentukan nasib
anaknya.
Di sekitar sekolah
tampak kacau. Ada yang tertawa senang, menangis bahkan marah. Dan lebih parah lagi,
di lapangan juga ada yang berteriak-teriak. Sungguh memusingkan.
“Gimana, Sit? Kayaknya
ayahku belum nyampe juga.”
“Ya udah, kita aja yang
ngambil.”
“Kan nggak
dibolehkan.”sahutku. Kami pun terus berdebat untuk mengambil sendiri atau
menunggu.
Tak lama kemudian dari
ruangan keluar sosok yang aku kenal, yaitu Dodo Oci, sepupuku. Ternyata dia
mendengar nama kami disebutkan dan ia pun mengambilnya.
“Kok Dodo bisa di
sini?”
“kebetulan adek teman
minta tolong diambilkan amplopnya.”
Sungguh, bukan suatu
kebetulan. Dia segera memberi dua amplop putih yang masih terbungkus rapi itu.
Aku memberanikan diri membuka di sini dengan tanganku sendiri. Walhasil..
Alhamdulillah aku lulus.
Aku heran dengan Sita
yang sepertinya sangat takut membuka amplop miliknya.
“Sit, kenapa nggak
dibuka?”tanyaku
“Aku nggak berani, Wi.
Apalagi ada isu yang mengatakan Sita nggak lulus.”sahutnya lesu.
“Itu kan baru isu.”
“ya udah, tolong
bukain”sodornya padaku.
Aku sedikit gemetaran
untuk membuka. Apalagi aku mendengar isu bahwa Sita nggak lulus dan banyak yang
mengatakan itu. Akupun pergi sedikit menjauh ketika membuka amplop Sita.
Sreet. Aku membaca
perlahan surat keputusan kelulusan itu. Dan ternyata Sita Widyani... terlihat
TIDAK LULUS, dicoret.
Aku pun ikut senang
untuknya. Kami berdua berpelukan mirip teletubies. Di tengah kesenangan itu,
aku tidak melihat sahabatku yang lain, yaitu Medita dan Sita Indiva.
“Jangan-jangan, Sita
Indiva....”.
Oh, My God, aku lupa kalau aku punya dua sahabat yang bernama
Sita.
To be continued......
No comments:
Post a Comment