Saturday, July 20, 2013

Notasi Rindu

Mhm.. 

Notasi rindu berkelebat..

Datang tak ingin untuk berdebat..

Hanya cahaya yang merambat..

Menusuk kelam yang pekat...



Kenapa sampai kepikiran tema ini ya????

Tuesday, July 16, 2013

Bidadari Kecil



Shinta membuka  tasnya. Ia lupa kalau ada PR yang tengah menanti. Untung saja ia diingatkan oleh Abah. Ia fokus pada buku baru ditangannya. Abahnya yang lewat sedikit penasaran dan mendekati. “Shin, buku apaan tuh?”
“Alqur’an, bah”
“dari siapa?”
“dari ibu guru baru.”
“yang abah beliin dulu mana?”
“udah rusak bah”
“oh. Ya udah, kerjakan lah PR mu”. Abah shinta pun berlalu menuju kamar.
Shinta pun bergegas mengambil PR matematikanya.  Ia pun tak lupa mengulang kembali pelajaran yang lain. Karena ujian sekolah sebentar lagi. Ia pun harus bisa belajar sendiri. Anak umur 9 tahun itu sangat mandiri dalam mengerjakan apapun. Apalagi semenjak bundanya meninggal setahun yang lalu. Ia sadar, bahwa abahnya yang seorang pekerja buruh sudah sangat capek. Ia tidak pernah diminta beli apapun sama abahnya, karena ia tahu gaji abah hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Ia juga tak pernah meminta ditemani abahnya untuk mengerjakan PR, karena ia tahu abahnya butuh istirahat yang cukup.
Shinta sang bidadari kecil itu sangat pintar. Ia bisa mendapatkan beasiswa dalam mengikuti lomba-lomba apa saja di daerahnya. Dan sekarang ia sedang giat-giatnya belajar dan mengahafal Al-qur’an. Banyak yang ingin dia ceritakan pada abahnya. Tapi ia tak tega mengusik abahnya, karena esok pagi hingga senja, telah menunggu pekerjaan yang menguras tenaga abahnya.
Di suatu malam, ia memberi kertas putih pada sang abah.
“undangan apa nih, Shin?”
“itu undangan dari sekolah, untuk perpisahan dengan kakak-kakak yang kelas enam, bah. Abah datang ya, karena Shinta juga bakalan tampil.”
“Oh, insyallah ya Shin, kalau abah dapat izin libur.”
“Shinta mohon abah datang ya, karena ini sudah Shin siapkan selama setahun ini untuk abah dan juga bunda yang jauh di sana”.
“ya, abah usahakan.”
Suasana pentas perpisahan siswa kelas enam pun berlangsung. Satu persatu siswa ataupun kelompok siswa di panggil untuk unjuk kebolehan masing-masing. Ada yang bernyanyi, grup dance, drama dan lain-lain. Tapi kali ini sungguh berbeda. Seorang anak maju dan melantunkan hafalan Al-qur’annya. Semua orang terpana mendengarnya. Belum ada dalam sejarah perpisahan ini diisi dengan pementasan hafalan qur’an. Semua orang yang tadi ada yang terpingkal-pingkal melihat gaya mereka di panggung. Kini mereka harus menunduk pilu mendengar suara seorang anak perempuan kecil yang terisak-isak. Mata penonton  basah dibuatnya. Gadis kecil itu tak lain adalah Shinta.
“Ini adalah persembahan seorang anak untuk bundanya yang telah meninggal dunia. Ia bercita-cita ingin memberikan mahkota kemuliaan pada orangtuanya.”sahut moderator mencairkan suasana.
Tapi semenjak ditinggal sang bunda, ia menjadi pendiam. Walaupun masih tetap saja tidak bisa dikalahkan oleh teman-temannya di kelas dalam berprestasi. Tapi semenjak bertemu Bu Husnul, seorang guru baru yang mengajarkan muatan lokal belajar mengaji, ia menjadi semangat belajar. Guru yang perhatian padanya membuat ia tergugah dan mau menghafal Alqur’an seperti sang guru. Shinta mulai mengahafal Al-qur’an setahun yang lalu. Dia anak yang cerdas. Hingga sudah lima juz ia hafalkan sambil sekolah umum. Karena setiap sepulang sekolah, ia akan menghafal dan setoran langsung pada sang guru.
Abahnya sesak melihat penampilan anaknya yang luar biasa. Ia tidak menyangka, ia yang sibuk dengan pekerjaan, tak membuat bidadari kecilnya bermalas-malasan. Abahnya mengira anaknya akan tampil seperti anak-anak lain, tapi ia sadari anaknya berbeda. Ia adalah permata baginya. Karena anaknya akan menjadi investasi mereka di akhirat nanti. Lelaki itu menghapuskan jejak airmatanya dan ia berjanji akan memberikan yang terbaik untuk putrinya yang sudah setahun ia abaikan. Ia tak mau kehilangan bidadari hatinya untuk yang kedua kali.