Shinta membuka tasnya. Ia lupa kalau ada PR yang tengah
menanti. Untung saja ia diingatkan oleh Abah. Ia fokus pada buku baru
ditangannya. Abahnya yang lewat sedikit penasaran dan mendekati. “Shin, buku
apaan tuh?”
“Alqur’an, bah”
“dari siapa?”
“dari ibu guru baru.”
“yang abah beliin dulu
mana?”
“udah rusak bah”
“oh. Ya udah, kerjakan
lah PR mu”. Abah shinta pun berlalu menuju kamar.
Shinta pun bergegas
mengambil PR matematikanya. Ia pun tak
lupa mengulang kembali pelajaran yang lain. Karena ujian sekolah sebentar lagi.
Ia pun harus bisa belajar sendiri. Anak umur 9 tahun itu sangat mandiri dalam
mengerjakan apapun. Apalagi semenjak bundanya meninggal setahun yang lalu. Ia
sadar, bahwa abahnya yang seorang pekerja buruh sudah sangat capek. Ia tidak
pernah diminta beli apapun sama abahnya, karena ia tahu gaji abah hanya cukup
untuk kebutuhan sehari-hari saja. Ia juga tak pernah meminta ditemani abahnya
untuk mengerjakan PR, karena ia tahu abahnya butuh istirahat yang cukup.
Shinta sang bidadari
kecil itu sangat pintar. Ia bisa mendapatkan beasiswa dalam mengikuti
lomba-lomba apa saja di daerahnya. Dan sekarang ia sedang giat-giatnya belajar
dan mengahafal Al-qur’an. Banyak yang ingin dia ceritakan pada abahnya. Tapi ia
tak tega mengusik abahnya, karena esok pagi hingga senja, telah menunggu
pekerjaan yang menguras tenaga abahnya.
Di suatu malam, ia
memberi kertas putih pada sang abah.
“undangan apa nih,
Shin?”
“itu undangan dari
sekolah, untuk perpisahan dengan kakak-kakak yang kelas enam, bah. Abah datang
ya, karena Shinta juga bakalan tampil.”
“Oh, insyallah ya Shin,
kalau abah dapat izin libur.”
“Shinta mohon abah
datang ya, karena ini sudah Shin siapkan selama setahun ini untuk abah dan juga
bunda yang jauh di sana”.
“ya, abah usahakan.”
Suasana pentas
perpisahan siswa kelas enam pun berlangsung. Satu persatu siswa ataupun
kelompok siswa di panggil untuk unjuk kebolehan masing-masing. Ada yang
bernyanyi, grup dance, drama dan lain-lain. Tapi kali ini sungguh berbeda.
Seorang anak maju dan melantunkan hafalan Al-qur’annya. Semua orang terpana
mendengarnya. Belum ada dalam sejarah perpisahan ini diisi dengan pementasan
hafalan qur’an. Semua orang yang tadi ada yang terpingkal-pingkal melihat gaya
mereka di panggung. Kini mereka harus menunduk pilu mendengar suara seorang
anak perempuan kecil yang terisak-isak. Mata penonton basah dibuatnya. Gadis kecil itu tak lain
adalah Shinta.
“Ini adalah persembahan seorang anak untuk bundanya yang telah meninggal dunia.
Ia bercita-cita ingin memberikan mahkota kemuliaan pada orangtuanya.”sahut
moderator mencairkan suasana.
Tapi semenjak ditinggal
sang bunda, ia menjadi pendiam. Walaupun masih tetap saja tidak bisa dikalahkan
oleh teman-temannya di kelas dalam berprestasi. Tapi semenjak bertemu Bu Husnul,
seorang guru baru yang mengajarkan muatan lokal belajar mengaji, ia menjadi
semangat belajar. Guru yang perhatian padanya membuat ia tergugah dan mau
menghafal Alqur’an seperti sang guru. Shinta mulai mengahafal Al-qur’an setahun
yang lalu. Dia anak yang cerdas. Hingga sudah lima juz ia hafalkan sambil
sekolah umum. Karena setiap sepulang sekolah, ia akan menghafal dan setoran
langsung pada sang guru.
Abahnya sesak melihat
penampilan anaknya yang luar biasa. Ia tidak menyangka, ia yang sibuk dengan
pekerjaan, tak membuat bidadari kecilnya bermalas-malasan. Abahnya mengira
anaknya akan tampil seperti anak-anak lain, tapi ia sadari anaknya berbeda. Ia
adalah permata baginya. Karena anaknya akan menjadi investasi mereka di akhirat
nanti. Lelaki itu menghapuskan jejak airmatanya dan ia berjanji akan memberikan
yang terbaik untuk putrinya yang sudah setahun ia abaikan. Ia tak mau
kehilangan bidadari hatinya untuk yang kedua kali.