.Mhm.. ketika lihat link nominator lomba 'aku ingin jadi pengantin' di facebook, udah deg degan duluan tuh. Mau buka, eh kuotanya nggak ada. Esoknya gue langsung beli kartu modem baru 'n liat tuh link. Hati-hati, gue baca nominasinya dari nomer satu ampe ke dua puluh. Alhamdulillah, nama gue nggak ada di situ. Sedih sih, tapi mau gimana lagi, itu artinya gue harus nulis dan nulis lebih baik lagi. Tadinya mau disimpan gitu aja di brankas, tapi karena suatu kejadian yang membuat gue trauma kalau nyimpannya di laptop atau apalah. Semua lenyap tak berbekas, karena rusak tepat dinyawanya data-data bersarang. "Harus ganti hard disk baru,"saran yang nyervis laptop. Shock dah tuh. Mana semua file dari yang paling nggak penting sampai paling penting lenyap gitu aja. Gimana nggak shock coba. Bayangin aja, data skripsi di sana semua, mana nggak di simpan tempat laen lagi. Wuish, bisa nangis darah kali ya. Tapi, nggak gitu juga lah. Buktinya, gue mampu ngelewatin masa kritis ini. Alhamdulillah semua kembali normal. Ada Allah kok yang bantuin. Semua bisa terselesaikan kembali tanpa merasa tertekan sedikit pun. Memang lelah tapi ini lah perjuangan. Akan ada kemudahan di akhirnya, Insyaallah.
Wah, ceritanya dari naskah lomba udah nyampe skripsi aja.. Maaf ya, ngalir gitu aja so'alnya.
Ini dia, dari pada ceritanya mubazir, gak kepake. Gue posting aja kali ya. Biar ada manfaatnya.
Jreng jreng....... Ini adalah cerita fiksi, jika ada kesamaan tempat, tokoh dll adalah faktor yang tidak di sengaja dan juga disengaja. jadi, mohon dimaklumi.. yeay!!
Judulnya adalah ............
Pengantin Queensland
Mesri Winda
Hidangan
telah tersaji di atas tikar. Kami pun duduk melingkar dan siap melepas haus dan
lapar setelah seharian berpuasa. Hingga adzan berkumandang, menyampai berita
gembira untuk kami semua. Alhamdulillah. Do’a pun kami sertakan atas rasa syukur
karena bisa berpuasa tanpa kendala yang berarti hari ini. Roti yang tersedia
sebagai pengganjal perut, satu per satu pun mulai memenuhi mulut. Kami asyik
mengunyah santapan yang seadanya itu.
Adzan
sudah selesai berkumandang. Kami meninggalkan obrolan, dengan segera kami
sanjungkan do’a pada yang Kuasa. Kami tak ingin hilang kesempatan untuk
bermunajat pada waktu yang paling baik itu. Indah, ukhuwah ini. Jalinan antara
kakak dan adik di antara kami membuat kami tetap tegar ketika jauh dari
keluarga. Bahkan menjadi pengobat, ketika kerinduan mulai mencuat. Aku, Kak
Sita dan Risa. Dua tahun kami bersama. Disatukan dengan lentera keimanan pada
yang Satu. Kak Sita lah yang membimbing kami ketika pertama kali masuk
perkuliahan. Tapi, kini Kak Sita tak lagi bersama kami. Ia sudah menikah satu
tahun yang lalu, kini ia tengah hamil muda. Dan sepertinya juga sudah mulai
menebar virus bahagia agar kami pun segera mengikuti langkahnya untuk
menggenapkan setangah dien. Kami selalu nyaman ketika bersama dengan Kak Sita
yang 3 tahun lebih tua dari kami. Sosok penyabar itu mengajarkan kami untuk
tegar dari badai yang akan datang secara tak terduga. Yang sebagai Muslimah,
aku dan Risa kadang agak bandel. Tapi, seiring waktu dan terus belajar, kini
kamipun punya tugas yang sama seperti Kak Sita. Membina adik-adik di mentoring,
memotivasi kerja adik-adik dalam organisasi dan memberi tauladan yang baik
tentunya untuk mereka yang bernaung dalam suatu wadah ekpresi mahasiswa yang
intelektual dan juga religius.
Proses
tarbiyah. Pendidikan yang benar-benar mengubah prilaku dan cara berpikir yang
lebih baik. Dan mengemban tugas itu tak gampang. Aku dan Risa harus rela tidak
tamat tepat waktu demi regenerasi dakwah kampus ini. Namun, Kak Sita terus memotivasi
kami agar tegar dan terus berjuang. “Menolong agama Allah, maka Allah akan
memudahkan semua urusan dunia bahkan akhirat,”sahutnya berulangkali ketika
kinerja kami mulai lesu. Disadari atau tidak, regenerasi penerus itu memang
penting. Ini proyek Allah, yang pertama kali diamanahkan pada Rasulullah, yaitu
untuk memperbaiki akhlak manusia. Dan kini menjadi tugas kita bersama, sebagai
seorang yang mengaku umat muslim.
Nah, kok jadi
bahas amanah nih. Hmmm....
Deru
motor di depan kos-kosan kami, menandakan jemputan Kak Sita sudah datang. Itu
suaminya, Mas Doli yang tepat janji untuk menjemput sang istri setelah sholat
Isya. Kami pun segera membuka pintu. Dengan tatapan sayu, tetap harus merelakan
Kak Sita untuk segera pulang. Walaupun kami masih merindukan kebersamaan ini,
kami sadar Kak Sita seutuhnya bukan milik kami lagi. Tapi, ia kan tetap jadi
pelita di hati kami.
##
Aku
dan Risa segera membereskan hidangan. Risa menoleh seraya berkata, “Ra,
bukannya kamu mau menikah sebelum wisuda ya?”. Aku tersenyum mengingat obrolan
kami untuk menikah setahun yang lalu. “Lihat saja nanti, yang mana yang dikasih
duluan aja,”jawabku sekenanya. Kami masuk ke kamar masing-masing. Dengan segera
aku membuka lembaran skripsi yang sudah dicorat-coret oleh pembimbing. Dan
malam ini terus bergelut dengan tumpukan kertas putih dan berlomba dengan waktu
untuk merevisi. Aku memacu semangat untuk segera menyelesaikan skripsi yang
baru setengah matang ini. Hingga aku lupa sejenak dengan semuanya.
Tok tok.. “Ra,
udah bangun?”
Suara Risa
membangunkanku. ‘Astaghfirullah, aku tertidur,’lirihku. Laptopku pun masih
menyala dengan iringan nasyid Raihan, yang melantunkan “Peristiwa Subuh”.
Kulihat, sudah menunjukkan jam 4 lewat.
Aku segera
membuka pintu, “Ya Ris. Syukron ya udah bangunin.”
“Ya, masih ada
makanan untuk sahur di meja makan. Aku tidak ikut puasa hari ini, karena jatah
bulanan udah datang,”jelasnya.
“Yup, sepertinya
aku akan sholat ke masjid sendirian idul adha besok,”gumamku. Aku segera masuk
kamar mandi untuk berwudhu dan sholat beberapa rakaat. Aku pejamkan mata
menikmati sujudku sejenak. Dalam diam
aku kembali teringat percakapan semalam. Sepertinya hatiku tengah bersiteru,
untuk mempertimbangkan kembali keputusanku. Kiranya perseteruan ini menyesakkan
dada. ‘Aku ingin menikah, tapi di sisi lain senyuman angin sejuk Tanah
Queensland tengah menyapa’. Hatiku kuat untuk ke sana. Aku ingin membuat semua
keluargaku bangga. Seumur-umur belum ada dari keluarga besarku yang bisa
melanjutkan studi ke luar negeri. Aku ingin membuat paradigma tentang
pendidikan itu menjadi mudah di pandangan keluargaku. Selagi ada kemampuan dan
kemauan, semua insyaallah akan dimudahkan. Kalau hanya mengandalkan soal harta,
pesimislah yang ada. Apalagi diluar negeri biaya tak tanggung-tanggung mahalnya.
Kini jalan itu sudah ada, tinggal bagaimana aku melangkah mendekat saja.
Walaupun orangtuaku berharap aku segera menikah, tapi keputusan mereka serahkan
semua padaku. Semoga Allah memudahkan urusanku. Aamiin.
##
Aku menyudahi
do’aku pagi ini. Dan bersiap-siap ke kampus. Sidang Skripsi sebentar lagi, dan
aku akan fokus persiapan mengurus beasiswa nantinya.
“Sa, kamu nanti
ke kampus kah?,”tanyaku pelan. Risa tengah menikmati bacaannya pagi ini. Ia
segera menoleh padaku. Dan hanya menggeleng. Begitulah kebiasaan Risa. Kalau
sudah baca buku, ia tak akan mampu berkata-kata lagi. Aneh. Tapi aku bangga
punya teman sepertinya. Ia seseorang yang banyak membantuku dalam hal apapun.
Sebagai teman, kadang aku juga terlalu egois padanya. Tapi, untunglah dia orang
yang tidak ambil pusing dengan semua itu. Risa. Dia temanku sejak SMA. Sudah
banyak yang kami lakukan bersama. Sepertinya semua keburukan masing-masing
sudah tak menjadi hal yang krusial lagi.
“Ya sudah, aku
ke kampus dulu ya. Assalamu’alaykum.” Aku segera menutup pintu kamar Risa,
tanpa mendengar jawaban darinya, akupun segera pergi. Aku berjalan menyusuri
gang sempit yang biasa kami bertiga lewati menuju ke kampus. Itu adalah jalan
pintas rahasia antara kami bertiga.
‘Huft,
selamat!!,’syukurku. Sepi sekali jalannya. Lebih baik lain kali aku tak lewat
jalan itu sendirian lagi.
##
Akhirnya usaha
hari ini tak sia-sia. Pembimbing pertamaku sudah menyetujui untuk sidang.
Kulihat jam yang melingkar di tangan. Pantas saja perutku rasanya sudah tak
karuan, ternyata sudah jam 1 siang. Aku bergegas turun dari ruang prodi menuju
kantin. Energiku harus dicarger, sebelum menemui pembimbing kedua yang lumayan
killer.
Aku memilih
duduk di pojok sendirian. Sembari menunggu pesanan, akupun meyusun kembali
berkas yang amburadul. Aku meregang leher sejenak dan tanpa sengaja aku
menangkap seseorang yang tengah duduk di meja yang cukup jauh dari mejaku. Aku
tak pernah melihatnya sebelumnya. Apalagi perawakannya bukan seperti anak
kampusku ini. ‘Ah, sudahlah,’sahutku. Aku segera kembali asyik dengan
kesibukanku. Tapi aku merasa aneh, seperti diperhatikan olehnya. ‘Siapa dia?
Ah, jangan terlalu jauh berpikir Lara,’gumamku.
##
‘Selamat ya Ra,
udah sidang,’ ternyata sms dari Kak Sita. Akupun dengan cepat membalas
pesannya. Sekaligus ingin memberitahu kalau aku juga sudah lulus berkas di
Central Queensland University. Dan dalam minggu ini aku akan ke Jakarta untuk
melengkapi berkas beasiswa.
“Ra, kamu
benar-benar yakin mau S2? Apa nggak sebaiknya nikah dulu aja. Kita kan cewek.”
“Kenapa
emangnya, Sa? Bukannya kemaren-kemaren kamu dukung banget.”
“Nggak sih,
kalau ada seorang yang sholeh ngelamar kamu gimana?”
“Mhm, bahas itu
lagi kan. Udah dari bulan yang lalu kita tutup dulu masalah itu kan. Jodoh nggak akan datang pada waktu yang salah,”tegasku.
“Maksudmu Ra?
Allah akan melaknat seorang wanita yang menolak lelaki sholeh loh, masih ingat
nggak kata kak Sita?”
“Ya, aku ingat
sayang. Tapi kan aku udah memutuskan untuk maju, S2 dulu. Lagian juga nggak ada
yang ngelamarku ini,”ceplosku.
“yakin?? Kak
Sita belum cerita?”
“Cerita apaa?
Kak Sita aja baru sms pagi ini dan ucapin selamat atas sidangku doang.”
“Kamu balas
apa?,”tanya Risa penasaran.
“Mau tau aja apa
mau tau banget??,”candaku. Risa pun manyun dengar guyonanku.
“Serius nih..,”sewotnya.
“Mhm, aku bilang
lulus berkas di CQU dan akan ke Jakarta dalam minggu ini.”
“Wah, pantas aja
Kak Sita nggak ngomong,” di wajahnya agak tampak sesal.
“Cerita dong Sa.
Ada apa sih sebenarnya?”
“Ntar sore Kak
Sita mau main ke kosan, katanya mau ngajak jalan pake mobil adik sepupunya.
Kamu nanti akan tau. Kita jalan rame-rame.”
“Ohya? Kok Kak
Sita nggak ngomong sih sama aku. Nanti sore itu aku ada mentoring adek-adek,
Ris.”
“Wah, gawat nih.
Masa dibatalin sih, Kak Sita dan suaminya udah jauh-jauh dari Palembang cuma
buat ketemu kita loh. Dan Kak Sita cuma beberapa hari di tempat saudaranya di
Bengkulu Utara.”
“Gimana lagi,
Sa. Ini dakwah loh, masa dibatalin mentoring adek-adek. Kan kasihan, nanti
takutnya mereka jadi malas datang lagi. Lagian kamu kan ada, Sa,”sahutku
enteng.
“Terserah kamu
deh, Ra.”
“Mhm, gini aja.
Besok kita main ke tempat Kak Sita aja. Nanti tanyakan alamatnya ya.” Risa
mengangguk pelan.
##
Aku segera
menyelesaikan tilawah. Sesudah subuh ini, aku dan Risa akan silaturahmi ke rumah
keluarga Kak Sita di Argamakmur, Bengkulu Utara. Ke sana, kami butuh waktu 1
jam lebih untuk sampai. Untunglah kami punya motor pinjaman kakak sepupuku
kemaren. Jadi, kami tidak terlalu sulit untuk mencari mobil terlebih dahulu.
“Kak Sita kenapa
nggak jadi ke sini kemaren?,”tanyaku pada Risa.
“Dia juga
mendadak nggak bisa, karena mobil dipakai sama adek sepupunya. Biasa, dakwah
juga kayak lu,”. Aku hanya bergumam pendek, mulut membentuk huruf O.
Sesampainya di alamat yang tepat, kami
disambut ramah oleh penghuni rumah. Kami pun melepas rindu dengan Kak Sita.
Sudah dua bulan tak bertemu sejak kepindahannya ke Palembang bersama suaminya,
seperti sudah bertahun-tahun saja. Kami berbincang-bincang seperti biasa.
Seorang remaja yang berkerudung rapi menyuguhi minuman dan kue kecil, ternyata
dia anak pemilik rumah. Namanya Zera, ia ramah dan dengan senang mengobrol
bersama. Kebetulan cuma ada kami berempat saja. Kamipun bebas
berbincang-bincang dari yang basa hingga yang basi. Semua tak luput dari
pembicaraan kami.
“Jadi, ini Kak
Lara yang calon Mas Ihsan? cantik,”ceplosnya. Aku bingung dan malu. Siapa tuh
Ihsan, namanya saja baru aku dengar. ‘Apa-apaan nih?,’pikirku. Aku menatap Risa
untuk mencari tahu ada apa di balik bakwan. Risa pura-pura nggak tahu. Aku ingin
mencari tahu pada mata Kak Sita, tapi tak kutemukan juga.
Zera pun disuruh
masuk kamar sebentar sama Kak Sita. Kak
Sita memulai pembicaraan. Sepertinya akan menjadi lebih serius setelah ini.
“Sit, ingat perbincangan kita dua bulan yang lalu?,”tanya Kak Sita. “Apa
tentang ikhwan yang mau cari istri umur 22 itu? Aku nggak mau kalau prioritas
seorang ikhwan menikahi akhwat itu faktor umur Kak. Bukankah itu akan jatuhnya
pada fisik. Aku ingin mempertimbangkannya, kalau itu karena
kesholehannya,”ungkapku tajam.
“Mhm, bukan itu.
Kalau kamu mau menikah setelah menyelesaikan skripsi. Ingat?”
“Iya sih kak.
Apa Ihsan itu yang kakak sebutkan dulu?,”
“Tentu saja
bukan. Ihsan baru saja pulang ke Bengkulu dua bulan yang lalu. Dan ia juga
minta dicarikan sama kakak,”jelas Kak Sita memahamkan.
“Kenapa aku yang
dibilang calonnya, Kak? Kenal aja nggak, apalagi dia belum tau sifat burukku
gimana. Risa aja tuh,”tunjukku enteng. Yang ditunjuk sewot. “Apaan sih, Ra. Dia
maunya sama kamu kok,”jawabnya.
“Insyallah, kesolehannya tidak diragukan lagi,
Ra. Bukan karena ia dari pesantren, tapi memang pribadinya telah tertempa sejak
kecil, Kak yakin kamu insyallah akan bahagia bersamanya,”lanjut Kak Sita. Aku
terhenyak. Aku jadi bingung mau jawab apa. Padahal dulu memang pernah bilang
sama Kak Sita, kalau pengen dita’arufkan dengan seseorang yang tidak pernah aku
kenal sama sekali, yang penting soleh.
“Kenapa tak cerita
dari awal Kak? Disaat keinginan melanjutkan kuliahku sudah sangat kuat,”tanyaku
memelas. Kami semua diam sejenak.
“Maafin Kak ya,
Ra. Tapi ini keinginan Ihsan juga. Dia ingin memastikan dia bisa menerimamu,
baru dia ingin adanya keterbukaan. Dan sekarang Ihsan sudah jatuh cinta padamu,
jangan sampai mengecewakan lelaki soleh itu.”
“Bisa jatuh
cinta hanya lewat foto, Kak?,”tanyaku heran.
“Tentu saja
tidak. Kalian sudah pernah bertemu dua kali,”sahut Kak Sita tersenyum. Aku
mencoba mengingat-ingat. Belum lagi aku ingin bertanya ‘kapan’ pada Kak Sita,
ada salam dari depan. Kami menjawab salam yang ternyata Mas Doli, suaminya Kak
Sita dan seorang pemuda yang tingginya kira-kira 165cm masuk ke dalam rumah.
Dug. Sepertinya
aku memang pernah bertemu pemuda itu. Aku segera menundukkan pandangan. Sambil
berpikir keras, pernah bertemu di mana. Setelah sedikit sapaan basa-basi, Mas
Doli dan pemuda itu segera masuk ke ruang belakang. Aku terdiam dan hanya bisa
bungkam dalam rasa ingin tahu. Setelah dirasa aman kami kembali bercakap
santai.
“Kakak kenal
bagaimana kamu Ra, dan juga Ihsan. Insyallah, kalian cocok. Apalagi visi kalian
tak jauh dengan Al-Qur’an dan dakwah kan?,”sambung Kak Sita. Aku tetap bungkam tanpa bisa berkata-kata.
Setelah solat
dzuhur, akhirnya kami pamit pulang pada Kak Sita dan Zera serta ibunya yang baru pulang
dari pasar.
##
“Ganteng kok
orangnya, Ra. Udah gitu hafidz Qur’an lagi,” Perkataaan Risa membuyarkan
lamunanku pada jalanan sekitar.
“Besar harapanku
untuk S2 keluar negeri, Sa,”jawabku lemah.
“Tapi,
pendidikan itu bisa dilanjutkan setelah menikah, Ra.”
“Ya memang, tapi
ini keadaannya berbeda. Kalau sesudah menikah, kami harus berpisah kan kasihan.
Aku tak mau menjadi istri yang mengabaikan suaminya, Sa.”
“Mhm, ya udah.
Ikuti saja saran Kak Sita tadi. Kamu istiqorah dan berpikirlah selama dua minggu
ini. Semoga nanti diberikan jawaban yang tak menyakiti siapapun,”sarannya.
“Aamiin,”jawabku pelan.
##
Sudah seminggu
waktu berjalan, aku masih belum bisa memutuskan yang terbaik. Risa dan Kak Sita
tak lagi berkomentar apapun. Dua minggu ini dikhususkan untuk berdialog dengan
Allah, apa yang terbaik bagiku. Dengan hari yang telah ditentukan, aku tetap
berangkat ke Jakarta untuk memenuhi syarat beasiswa. Sambil menunggu giliran,
disampingku ada seorang Ibu yang tengah hamil. Ternyata dia juga peserta beasiswa
kuliah luar negeri. Aku tertegun. Ibu yang berusia 35 tahun itu saja masih
semangat belajar, padahal dia juga sudah berkeluarga.
Pipiku memanas.
Kiranya, hatiku tengah luluh. Mungkin aku sadari yang terbaik untukku saat ini.
Pendidikan bisa saja kita dapatkan dari manapun dan kapanpun. Aku harus segera
bertindak sebelum semua terlambat. Aku keluar dari ruangan. Dengan segera
kuambilkan handphone dan mengontak seseorang. Di seberang telpon menjawab
dengan salam. “Kak, Aku ingin jadi pengantin,”sahutku pelan. Dunia terasa lebih
luas, setelah kuucapkan kata itu. Senyuman keluargaku, Kak Sita dan Risa dan
Ihsan membekas bayang di pelupuk mataku. The End.