Menggapai
Ufuk Cinta Illahi
Sore
yang tenang menghantarkan keriuhan orang-orang yang menyambut gembira h-1 bulan
suci Ramadhan. Sebuah tradisi belimau (keramas mensucikan diri) selalu ada setiap
tahun menjelang puasa ditempat ku. Tak puas hanya melakukannya dirumah, mereka
menjadikan momen bahagia ini kesempatan untuk jalan-jalan bersama keluarga atau
teman-temannya bahkan pacarnya dengan alasan belimau. Kondisi yang tak biasa
ini pun sangat membuat kebisingan orang-orang yang tengah duduk bersantai
diteras rumah. Awalnya, aku pun ingin pergi belimau ke Air terjun di Sako
(sumatera barat) bersama teman-teman. Keinginan seorang remaja yang tak mau
kalah dengan teman-temannya, walaupun menempuh jarak yang cukup jauh. Maka pada
siang itu aku memberanikan diri untuk meminta izin kepada orang tua ku,
khususnya ibu. Karena kunci itu dipegang oleh ibu ku, karena jika ibu setuju
maka ayah pun pasti membolehkan.
“ Mak,
boleh ikut kawan-kawan belimau ke Sako dak?1” Aku pun merayunya
dengan wajah yang memelas.
“Ngapo ndak ke Sako nian? Orang
rami ke jalan,kelak jatuh siapo ndak tanggung jawab. Lagian pagi ka ndak puaso.
yang penting tu suci, bukan jalan-jalannyo2”.
Terang ibu ku penuh petuah. Dalam hatiku pun sebenarnya membenar celotehan ibu.
Tapi, aku tak ingin menyerah begitu saja.
“Yo, tapi kan kawan banyak, pakai
oto lak gi3”sambungku.
“Ai, tetap jo bahayo..4”
Balas ibu yang tak mau kalah dengan pernyataanku.
4. Ai, tetap aja bahaya..
Terlihat
orang-orang beriringan pulang dari belimau, entah dengan niat belimau atau
sekedar jalan-jalan, aku tak tahu. Ku biarkan pertanyaan yang tak bisa kujawab
itu pada mereka masing-masing.
Terdengar
sayup-sayup dalam lamunan ku yang sedikit buyar..
“Gepuuuu.... gepuuu...!!5”
sumber suara itu pun semakin jelas ku dengar. dengan lamunan yang sedikit
membuyar,kurasa seretan itu semakin kuat. tanpa kusadari ibu menyambar tanganku
secepat kilat dan menyeretku keluar di tempat yang tak akan terhimpit
reruntuhan bangunan. Aku tak tahu apa yang terjadi jika ibu tak menarik ku
segera. Hal yang paling kecil terjadi adalah tertimpa bata-bata yang ikut lari
berhamburan dan hal terbesar terjadi adalah.... “Astaghfirullah hal adzim.....” Cuma kata itu yang bisa ku
keluarkan.
Mulut
terasa kaku dengan goncangan yang mengancam..
Rupanya
gempa juga menyambut kedatangan bulan ramadhan dengan menari bersama
patahan-patahan lempengan dan mengajak semua makhluk disekitar kami bergoyang.
Aku pun mencoba menggenggam tangan ibu dan memeluknya. Mula-mula hanya goyangan
gempa kecil, kemudian disusul ayunan kuat yang membuat kami semula berdiri,
jatuh tersungkur karena tiada tempat bertopang.
“Allahu akbar!! Allahu akbar !!!”
suara sekitar pun berebutan mengagungkan nama Allah.
Dengan kalimatullah
yang slalu bercucuran , kami pun terduduk dengan pasrah bak mengikuti irama
nada gempa. kulihat orang-orang dijalan itu terduduk bergelimpangan beserta
motor-motor yang ada. Ku pandang nanar ketika
melihat rumah yang semula berdiri kokoh, bisa ambruk dengan seketika
rata dengan tanah.
5.Gempaaaa....
gempaaa...!!
Sekilas ku teringat
akan rumah tanah yang suka kubuat, dan aku hancurkan seketika dengan satu
telunjuk saja. Kini telunjuk Tuhan telah dimainkan. Entah karena dia bosan
dengan tingkah umat yang penuh dosa atau sebuah musibah untuk mengangkat
derajat hamba Nya yang bersabar atau bahkan azab?? Aku tak tahu..
“Haruskah ku tanya pada karang?
Atau ku minta jawaban pada rumput yang bergoyang?”
Nyanyian itu menggema memenuhi nurani yang terbang.
Kembali
dengan tak berhentinya berdzikir pada Allah, aku pun membatin dalam hati.
“Apakah ini kiamat? Benarkah ini
kiamat? Kenapa harus kiamat sekarang? Kenapa tak menunggu hari raya? Dimana
semua kembali fitri..” itu lah pertanyaan bodoh yang
menyelinap ke rongga batinku.
Nafasku
berat. semua hancur dalam pandangan jelasku. Selang beberapa menit kondisi bumi
kurasa mulai tenang, walau keadaan tak akan seperti semula. Semua menjadi
berubah 1800 dan langit pun berubah kemerah-merahan. tangis dan
kepiluan masih kudengar dari sekeliling ku atas kecemasan yang menyelimuti
diri.
Dengan
sangat mengkhawatirkan kondisi dirumah, kami pamit pulang. Walau tangan ku rasa
tak mampu menggenggam, kucoba mendirikan motor green supra ku dan menstarter serta
menggasnya pelan-pelan.
“Mudah-mudahan ke dumah dak terjadi
apo-apo6”do’a ibu pelan
“Aamiin”
sahut ku hanya dalam hati. Karena bibir ini terlalu kelu untuk menjamah sebuah
kata. Walau hanya satu kata.
Diperjalanan,
ibuku mencoba menenangkan ku yang melihat muka memutih dan raut wajah yang tampak tak punya tujuan hidup lagi.
Kami amat mengkhawatirkan keluarga ku dirumah,
bagaimana kalau kepanikan karena gempa membuat
mereka lupa untuk menyelamatkan Jijif, keponakan pertama plus
satu-satunya yang baru saja lahir. Aku
dan ibu pun berusaha untuk positive thinking.
6.
Mudah-mudahan dirumah tidak terjadi apa-apa
to be continued...
No comments:
Post a Comment