Friday, November 9, 2012

Menggapai Ufuk Cinta Illahi 1


Menggapai Ufuk Cinta Illahi

Sore yang tenang menghantarkan keriuhan orang-orang yang menyambut gembira h-1 bulan suci Ramadhan. Sebuah tradisi belimau (keramas mensucikan diri) selalu ada setiap tahun menjelang puasa ditempat ku. Tak puas hanya melakukannya dirumah, mereka menjadikan momen bahagia ini kesempatan untuk jalan-jalan bersama keluarga atau teman-temannya bahkan pacarnya dengan alasan belimau. Kondisi yang tak biasa ini pun sangat membuat kebisingan orang-orang yang tengah duduk bersantai diteras rumah. Awalnya, aku pun ingin pergi belimau ke Air terjun di Sako (sumatera barat) bersama teman-teman. Keinginan seorang remaja yang tak mau kalah dengan teman-temannya, walaupun menempuh jarak yang cukup jauh. Maka pada siang itu aku memberanikan diri untuk meminta izin kepada orang tua ku, khususnya ibu. Karena kunci itu dipegang oleh ibu ku, karena jika ibu setuju maka ayah pun pasti membolehkan.
 “ Mak, boleh ikut kawan-kawan belimau ke Sako dak?1 Aku pun merayunya dengan wajah yang memelas.
“Ngapo ndak ke Sako nian? Orang rami ke jalan,kelak jatuh siapo ndak tanggung jawab. Lagian pagi ka ndak puaso. yang penting tu suci, bukan jalan-jalannyo2”. Terang ibu ku penuh petuah. Dalam hatiku pun sebenarnya membenar celotehan ibu. Tapi, aku tak ingin menyerah begitu saja.
“Yo, tapi kan kawan banyak, pakai oto lak gi3sambungku.
“Ai, tetap jo bahayo..4Balas  ibu yang tak mau kalah dengan pernyataanku.
Setelah tak ada satupun jurus alasan yang bisa diterima ibu, aku pun akhirnya pasrah. Kuputuskan mengikuti kata-kata ibuku, walau keinginan kuat untuk pergi. Tapi kucoba untuk menerima semua wacana ibuku. Sorenya pun ibu mendesakku untuk mandi, karena dia ingin mengajakku untuk berkunjung kerumah saudara-saudaraku dengan tujuan  bersilaturahim dan meminta maaf.

1. Bu, boleh ikut kawan-kawan belimau ke sako nggak?”
2. kenapa harus ke sako? Orang dijalan ramai, nanti kalau jatuh siapa yang mau tanggung jawab. Lagian besok puasa. yang penting itu suci, bukan jalan-jalannya.
3. Ya, tapi kan banyak temen, pakai mobil lagi 
4. Ai, tetap aja bahaya..
Dengan kondisi kaki yang mengayun agak malas, akhirnya aku memutuskan pergi bersama ibu ke rumah yang kupanggil andung (paman dari ibu). Serasa terkurung dalam pembicaraan orang-orang dewasa yang membicarakan segala hal yang mereka lihat dan dengar . Terselinap rasa bosan dan ingin pulang kerumah sesegera mungkin.Tapi sejenak ku berpikir, ku biarkan mereka saling berkelakar dan  Aku pun memilih terpaku diam dan menatap jalan aspal yang sedikit melepuh karena injakan penguasa tanpa ada daya untuk membela diri.
Terlihat orang-orang beriringan pulang dari belimau, entah dengan niat belimau atau sekedar jalan-jalan, aku tak tahu. Ku biarkan pertanyaan yang tak bisa kujawab itu pada mereka masing-masing.
Terdengar sayup-sayup dalam lamunan ku yang sedikit buyar..
“Gepuuuu.... gepuuu...!!5” sumber suara itu pun semakin jelas ku dengar. dengan lamunan yang sedikit membuyar,kurasa seretan itu semakin kuat. tanpa kusadari ibu menyambar tanganku secepat kilat dan menyeretku keluar di tempat yang tak akan terhimpit reruntuhan bangunan. Aku tak tahu apa yang terjadi jika ibu tak menarik ku segera. Hal yang paling kecil terjadi adalah tertimpa bata-bata yang ikut lari berhamburan dan hal terbesar terjadi adalah.... “Astaghfirullah hal adzim.....” Cuma kata itu yang bisa ku keluarkan.
Mulut terasa kaku dengan goncangan yang mengancam..
Rupanya gempa juga menyambut kedatangan bulan ramadhan dengan menari bersama patahan-patahan lempengan dan mengajak semua makhluk disekitar kami bergoyang. Aku pun mencoba menggenggam tangan ibu dan memeluknya. Mula-mula hanya goyangan gempa kecil, kemudian disusul ayunan kuat yang membuat kami semula berdiri, jatuh tersungkur karena tiada tempat bertopang.
“Allahu akbar!! Allahu akbar !!!” suara sekitar pun berebutan mengagungkan nama Allah.
Dengan kalimatullah yang slalu bercucuran , kami pun terduduk dengan pasrah bak mengikuti irama nada gempa. kulihat orang-orang dijalan itu terduduk bergelimpangan beserta motor-motor yang ada. Ku pandang nanar ketika  melihat rumah yang semula berdiri kokoh, bisa ambruk dengan seketika rata dengan tanah.
5.Gempaaaa.... gempaaa...!!

Sekilas ku teringat akan rumah tanah yang suka kubuat, dan aku hancurkan seketika dengan satu telunjuk saja. Kini telunjuk Tuhan telah dimainkan. Entah karena dia bosan dengan tingkah umat yang penuh dosa atau sebuah musibah untuk mengangkat derajat hamba Nya yang bersabar atau bahkan azab?? Aku tak tahu..
“Haruskah ku tanya pada karang? Atau ku minta jawaban pada rumput yang bergoyang?” Nyanyian itu menggema memenuhi nurani yang terbang.
Kembali dengan tak berhentinya berdzikir pada Allah, aku pun membatin dalam hati.
“Apakah ini kiamat? Benarkah ini kiamat? Kenapa harus kiamat sekarang? Kenapa tak menunggu hari raya? Dimana semua kembali fitri..” itu lah pertanyaan bodoh yang menyelinap ke rongga batinku.
Nafasku berat. semua hancur dalam pandangan jelasku. Selang beberapa menit kondisi bumi kurasa mulai tenang, walau keadaan tak akan seperti semula. Semua menjadi berubah 1800 dan langit pun berubah kemerah-merahan. tangis dan kepiluan masih kudengar dari sekeliling ku atas kecemasan yang menyelimuti diri.
Dengan sangat mengkhawatirkan kondisi dirumah, kami pamit pulang. Walau tangan ku rasa tak mampu menggenggam, kucoba mendirikan motor green supra ku dan menstarter serta  menggasnya pelan-pelan.
“Mudah-mudahan ke dumah dak terjadi apo-apo6do’a  ibu pelan
“Aamiin” sahut ku hanya dalam hati. Karena bibir ini terlalu kelu untuk menjamah sebuah kata. Walau hanya satu kata.
Diperjalanan, ibuku mencoba menenangkan ku yang melihat muka memutih dan raut wajah yang  tampak tak punya tujuan hidup lagi.
 Kami amat mengkhawatirkan keluarga ku dirumah,  bagaimana kalau kepanikan karena gempa membuat mereka lupa untuk menyelamatkan Jijif, keponakan pertama plus satu-satunya  yang baru saja lahir. Aku dan ibu pun berusaha untuk positive thinking.
6. Mudah-mudahan dirumah tidak terjadi apa-apa

to be continued...

No comments:

Post a Comment